2 Desember 2008 |
0
komentar
Kamis, 29 Januari, 2004
Gizi.net - Usia kehamilan ternyata amat menentukan kualitas tumbuh kembang bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan dini dengan berat lahir yang sangat rendah berpotensi terkena berbagai komplikasi yang bisa dibawa hingga menjadi manusia dewasa. Karena itu, memperpanjang kehidupan dalam rahim merupakan jalan terbaik agar bayi dapat bertumbuh kembang secara optimal.
Demikian pidato Prof dr Asril Aminullah SpAK sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dalam upacara pengukuhan yang berlangsung di aula FKUI Salemba, Rabu (28/1).
Pada kesempatan yang sama, dikukuhkan pula Prof dr Harmani Kalim MPH SpJP(K) sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Kardiologi FKUI.
Dengan judul "Serangan Jantung, dari Papyrus Ebers, Sekarang, Masa Depan, dan Harapan Baru Penderita," Harmani mengingatkan bahwa penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia dan di Indonesia. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sebenarnya banyak penderita PJK bisa diselamatkan dengan obat-obatan pelarut bekuan darah. Namun, harga obat yang masih mahal dan keterlambatan ke unit gawat darurat masih jadi penghalang.
Dampak kurang bulan
Menurut Asril, dua dari tiga kematian pada masa neonatus (bayi baru lahir sampai usia empat minggu) biasanya terkait dengan kelahiran prematur dan berat lahir rendah. Sebagian besar kematian disebabkan oleh kelainan bawaan berat dan sisanya oleh gangguan pernapasan, infeksi, maupun perdarahan paru dan otak.
Kalau kemudian bayi prematur dan berberat lahir rendah ini mampu bertahan, masih banyak kemungkinan komplikasi jangka panjang yang terjadi seperti gangguan belajar, mental retardasi, maupun palsi serebral.
"Bahkan, penelitian terakhir menunjukkan, makin rendah berat lahir makin besar kecenderungan tekanan darah meningkat. Hubungan serupa juga ditemukan antara berat lahir dengan PJK," papar Asril dalam pidato berjudul "Perinatologi: Dari Rahim Ibu Menuju Sehat Sepanjang Hayat".
Beberapa penelitian bahkan menyimpulkan bahwa risiko PJK terjadi bila terdapat gangguan pertumbuhan selama masa janin dan masa bayi, atau terjadi peningkatan berat badan yang terlalu cepat pada masa anak. Sebaliknya, pada berat lahir yang terlalu besar juga meningkatkan risiko PJK.
"Nutrisi buruk selama kehamilan juga menyebabkan perubahan permanen dalam metabolisme glukosa-insulin dan memicu diabetes mellitus di kemudian hari," tambahnya.
Karena itu, Asril tidak hanya menyarankan untuk memperpanjang kehidupan dalam rahim-terutama bila bayi terlalu kecil-tetapi juga memulai penelitian yang dapat mengonfirmasikan temuan-temuan di negara maju. "Bila memang ada, maka implikasinya cukup luas mengingat kejadian berat lahir rendah dan prematur di Indonesia lebih tinggi dibanding negara maju," katanya.
Pendekatan baru
Harmani mengungkapkan, sebenarnya dengan adanya aspirin dan terapi fibrinolitik yang melarutkan bekuan darah darah dalam pembuluh nadi koroner penderita serangan jantung, angka kematian dan komplikasi serangan jantung bisa dikurangi.
Aspirin dan terapi fibrinolitik juga mengubah konsep serangan jantung dari bersifat mengamati dan menunggu, menjadi aktif dan agresif. Soalnya, semakin cepat aspirin dan streptokinase diberikan pada penderita serangan jantung, semakin banyak otot jantung yang terselamatkan dari kerusakan. Dengan demikian, angka kematian berkurang dan semakin baik pula kualitas hidup penderita sepulang dari rumah sakit.
"Sayangnya, di Indonesia penderita jantung yang memenuhi syarat untuk mendapatkan terapi fibrinolitik hanya 10 persen dari yang datang ke unit gawat darurat," kata Harmani mengutip hasil survei pada 12 rumah sakit rujukan di Indonesia tahun 1996.
Menurut dia, hal ini terkait dengan mahalnya obat streptokinase (rata-rata Rp 2,5 juta per pasien) dan keterlambatan pasien ke rumah sakit. Padahal, obat fibrinolitik hanya bermanfaat jika diberikan dalam waktu 12 jam dari sejak timbulnya rasa sakit di dada penderita.
Karena itu, keluarga perlu memahami gejala awal serangan jantung. Gejala tersebut antara lain keluhan sakit dada ringan, rasa tidak enak di dada, kadang-kadang sesak napas, lekas capai, dan gejala-gejala serupa yang tidak khas.
Selain itu, diperlukan pula dukungan sistem ambulans yang cepat, tenaga terampil, serta ketersediaan obat dan alat kesehatan yang terjangkau masyarakat. (nes)
Sumber: Kompas, Kamis 29 Januari 2004
Label:
kesehatan